Bila isi hati bertentangan dengan tuntutan budaya dan ekonomi, dapat menimbulkan pergolakan batin yang menyiksa. Kebahagiaan yang diidamkan berdasarkan nilai yang dimiliki seringkali harus rela dikalahkan oleh kenyataan yang serba terpaksa.
Dalam buku “Menunggu Beduk Berbunyi”, Buya Hamka mengisahkan dua novelet, yaitu “Dijemput Mamak” dan “Menunggu Beduk Berbunyi”. Kedua cerita ini memberikan pesan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu didapatkan dari kemewahan materi. Hangatnya keluarga, cinta, kasih sayang, dan persaudaraan bisa menjadi oasis di tengah kesulitan dan penderitaan hati dalam menjalani kehidupan.
Novelet “Dijemput Mamak” bercerita tentang kemiskinan dan ego keluarga yang menjunjung adat, budaya, dan harga diri kesukuan hingga menjadi penyebab perceraian. Musa memilih untuk meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Deli bersama istrinya, Ramah. Meski hidup pas-pasan, mereka saling memberikan kekuatan dan merasa cukup dengan rezeki yang diperoleh. Namun, konflik yang memicu perceraian antara Musa dan Ramah muncul ketika mereka tak pulang kampung selama tiga tahun karena masalah ekonomi. Akhirnya, mereka terpaksa bercerai akibat tekanan dari keluarga.
Sementara itu, novelet “Menunggu Beduk Berbunyi” menggambarkan Tuan Sharif yang sedih akibat tekanan ekonomi keluarganya. Dalam dilema, ia memutuskan menerima tawaran menjadi pegawai pemerintahan Belanda. Keputusan ini menghancurkan prinsip dan janji yang telah ia pegang teguh. Tuan Sharif merasa dikhianati dan dijauhi oleh tetangga karena keputusan ini.
Namun, sebuah surat dari salah satu anaknya yang tetap berjuang, dan khutbah Sholat Jum’at tentang hikmah puasa, menggugah Tuan Sharif. Ia menyesal dan merasa lebih miskin secara rohani dibanding sebelumnya.
Buku “Menunggu Beduk Berbunyi” ini khas Buya Hamka, yang selalu menyisipkan hikmah kehidupan dalam karyanya. Membaca buku ini dapat membangkitkan ingatan kita tentang nilai-nilai kehidupan yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.
Buya Hamka adalah seorang intelektual dan penulis produktif yang memiliki banyak karya dalam bentuk buku dan naskah. Karya-karya Buya Hamka meliputi berbagai genre, dari novel, tafsir Al-Quran, hingga buku-buku sejarah dan sosiologi. Beberapa karya terkenal Buya Hamka adalah “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Merantau ke Deli”, dan tentu saja “Menunggu Beduk Berbunyi”. Karya-karya Buya Hamka juga mencakup seri tafsir Al-Quran yang monumental, “Tafsir Al-Azhar”, yang terdiri dari 30 jilid.
Jumlah total karya Buya Hamka memang sulit untuk dihitung, mengingat produktivitasnya sebagai penulis. Namun, tercatat bahwa Buya Hamka telah menulis lebih dari 100 buku selama hidupnya. Melalui karya-karyanya, beliau berhasil menyampaikan pesan moral dan hikmah kehidupan yang mendalam. Karya Buya Hamka memperkaya literatur Indonesia dan memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai kehidupan.
BUKU HAMKA – Menunggu Beduk Berbunyi