Masih ingat dengan gempa Cianjur (21/11/2022), letusan gunung Semeru (4/12/2022), gempa Jember (6/12/2022), dan juga gempa Sukabumi (8/12/2022)?
Deretan musibah tersebut terjadi antara November – Desember tahun 2022. Tentu akan tambah panjang lagi kalau daftar musibahnya kita urutkan ke belakang.
Pembahasan tentang penyebab musibah, sudah banyak sekali yang menjelaskan. Maka fokus dari tulisan ini adalah tentang bagaimana status para korban yang meninggal dunia serta seperti apa tata cara pengurusan jenazahnya.
Pertama, terkait status mereka yang meninggal karena bencana alam, penjelasannya disebutkan dalam beberapa hadits, berikut ini:
- Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah ra:
“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR Bukhari no 2617 dan Muslim no 3538) - Hadits riwayat Abu Daud dari sahabat Jabir bin ‘Atik ra:
“Mati syahid selain terbunuh di jalan Allah ada tujuh, yaitu: orang yang meninggal karena terkena wabah adalah syahid, orang yang meninggal karena tenggelam adalah syahid, orang yang punya luka pada lambung lalu meninggal adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit perut adalah syahid, orang yang meninggal karena kebakaran adalah syahid, orang yang meninggal tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya) adalah syahid.” (HR Abu Daud no 2704) - Hadits riwayat an-Nasa’i dari sahabat Abdullah bin Jabr:
“Tidaklah kalian menganggap syahid kecuali orang yang terbunuh di jalan Allah. Sungguh orang-orang yang syahid jika demikian hanya sedikit. Padahal terbunuh di jalan Allah adalah syahid, meninggal karena sakit perut adalah syahid, terbakar adalah syahid, tenggelam adalah syahid, orang yang tertimpa reruntuhan adalah syahid, orang yang mati karena gila adalah syahid, wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR An-Nasa’i no 3143).
Dari keterangan 3 hadits ini, bahwa mereka yang meninggal akibat bencana alam, status mereka adalah syahid akhirat. Maksud dari syahid akhirat adalah mereka di dunia tetap dimandikan dan dishalatkan sebagaimana orang biasa meninggal, namun di akhirat mereka mendapatkan pahala syahid.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyebutkan bahwa syuhada (bentuk jamak dari syahid) dalam Islam itu terbagi menjadi tiga macam: Syahid dunia dan akhirat, syahid dunia, dan syahid akhirat. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 2, hal. 1588)
Kedua, bagaimana prosesi pengurusan jenazah mereka?
Mereka yang wafat karena wabah yang melanda suatu daerah, atau wafat karena tenggelam di laut atau banjir tsunami dan lainnya, atau karena tertimpa bangunan lantaran gempa bumi atau longsor, insya Allah mereka akan mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah SWT, sebagaimana sabda Rasul-Nya bahwa mereka akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala para syuhada’.
Namun demikian, proses pengurusan kematiannya tetap berbeda dengan mereka yang mati syahid dalam keadaan perang membela agama Allah SWT. Di antara perbedaannya adalah bahwa mereka yang mati syahid bukan karena perang, tetap wajib dimandikan dan dikafani. Sedangkan yang mati syahid karena perang, tidak perlu dimandikan dan juga tidak perlu dikafani. Mereka cukup dikuburkan begitu saja dengan pakaian dan luka-lukanya, karena justru keadaannya saat meninggal itulah yang nanti akan menjadi saksi di akhirat, bahwa yang bersangkutan telah mati dalam rangka membela ajaran Islam.
Demikianlah jika menyikapi mayat yang kondisinya masih wajar, pengurusan mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, hingga menguburkan dilakukan secara wajar dan normal.
Adapun, jika kondisi mayat korban bencana sudah tidak wajar, seperti sudah menggembung, yang jika dimandikan akan pecah, atau terkoyak tubuhnya sehingga keluar banyak belatung dan kuman penyakit bagi orang sekitarnya, atau mayat terbakar dan hangus, tentunya ini sangat sulit dimandikan. Maka, cukup baginya disiramkan air tanpa diusap tangan. Jika disiram masih tidak mungkin juga, boleh ditayamumkan saja. Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata,
“(Bagi mayat yang ada uzur untuk dimandikan) karena ketiadaan air, atau semisal terbakar, atau tersengat racun, yang seandainya dimandikan akan terkoyak, atau dikhawatirkan yang memandikan tidak dapat menjaganya, hendaklah ditayamumkan.”
Tuhfah al-Muhtaj, 3/184
Wallahu a’lam
Sumber: Fiqih Musibah, karya Farid Nu’man Hasan, Gema Insani 2020
Photo by David Marcu on Unsplash

Fiqih Musibah karya Farid Nu’man Hasan
Beli di website Gema Insani https://www.gemainsani.co.id/product/detail/2721-fiqih-musibah